Selasa, 14 Mei 2019

Masih Tidak Ada Keadilan Bagi Korban Tragedi Mei 1998

Masih Tidak Ada Keadilan Bagi Korban Tragedi Mei 1998


Kedua tangannya cacat secara fisik, dua daun telinganya rusak, seluruh tubuhnya memegang bekas luka bakar. “Saya hampir dibakar hidup-hidup,” kata Iwan Firman, salah seorang yang selamat dari kerusuhan massal Mei 1998 ketika dia mengingat kembali peristiwa mengerikan itu pada Senin, 13 Mei, memperingati 21 tahun sejak tragedi Mei 98.

Pria 60 tahun itu menceritakan kembali kisah dibakar hidup-hidup oleh 20 pria tanpa alasan tertentu. Para lelaki itu tampaknya bertubuh kekar dan berambut pendek. Dia menemukan kengerian yang akan memiliki bekas luka abadi saat menuju rumah ke rumahnya di Tanah Tinggi di Jakarta Pusat.

Pagi ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, Iwan tiba di Citra Plaza di Klender bersama dengan para korban dan keluarga korban lainnya untuk memberi penghormatan kepada orang-orang yang dibakar hidup-hidup di dalam pusat perbelanjaan yang dulu dikenal sebagai Yogya Plaza.

Orang-orang ini terus-menerus menuntut pemerintah untuk mengungkap dalang di balik kerusuhan skala besar yang menewaskan ribuan orang di Jakarta dan wilayah Indonesia lainnya.


“Jika aku bertemu Jokowi, aku akan mengungkapkan semuanya. Saya akan mengatakan kepadanya betapa menyedihkannya hidup saya, ”kata Iwan sambil memandang kedua tangannya.

Sementara itu, dalam peringatan tragedi Mei, Maria Sanu tidak bisa melepaskan foto putranya Stevanus Sanu, yang dibakar hidup-hidup di Yogya Plaza. Dia mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang dia pilih secara terbuka, untuk menyelesaikan kasus ini dan membawa keadilan bagi putranya dan keluarga korban lainnya.

"Jadi dia akan membuka hati, mata, dan merawat keluarga para korban yang mengalami pelanggaran hak asasi mereka," kata Maria.

Tim pencari fakta bersama (TGPF) yang dibentuk pemerintah dalam laporannya menyebutkan bahwa kerusuhan yang terjadi pada 13 Mei - 15 Mei 1998, terkait erat dengan dinamika sosial-politik publik pada saat itu. Kerusuhan itu terkait erat dengan sejumlah peristiwa yang terjadi sebelumnya seperti pemilihan umum 1997, penculikan aktivis, krisis ekonomi, hingga penembakan mahasiswa Universitas Trisakti.

 TGPF merasa sulit untuk mengetahui jumlah pasti korban dalam kerusuhan 1998. Di Jakarta saja, tim menemukan bahwa data terakhir mereka memiliki angka yang saling bertentangan dengan tim sukarelawan yang menyatakan kerusuhan besar menewaskan 1.190 orang sementara Polisi melaporkan kematian hanya hingga 451 orang.

"Para pelaku [kerusuhan] bervariasi, mereka termasuk orang-orang yang awalnya pasif tetapi kemudian berubah menjadi perusuh aktif, provokator, hingga anggota otoritas," kata laporan TGPF,  

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri mengatakan bahwa peringatan 21 tahun era "Reformasi" bertepatan dengan pemilihan umum 2019 dan merupakan alasan mengapa Puri mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini.

Puri mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia diharuskan untuk memenuhi hak korban kerusuhan dan penyintas Mei 1998 yang mencakup hak atas keadilan, kebenaran, dan rehabilitasi yang didanai negara. "Mereka memiliki hak untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu."

0 komentar:

Posting Komentar