Kamis, 28 November 2019

Manajemen Kontras dari Pusat Seni TIM di Era Anies

Manajemen Kontras dari Pusat Seni TIM di Era Anies



Seniman mapan Radhar Panca Dahana membandingkan pengelolaan pusat seni dan budaya Taman Ismail Marzuki di Cikini selama era pemerintahan gubernur sekarang, Anies Baswedan dan gubernur sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Seorang penulis dan penyair menyatakan keterkejutannya bahwa sejak era Anies, seniman diharuskan membayar biaya jika mereka mau menggunakan fasilitas di situs ikonik kota, bahkan untuk latihan di taman teater megah seharga Rp1 juta.

"Untuk sekadar mengadakan gladi resik di taman, kita harus membayar satu juta rupiah," kata Radhar setelah melakukan pertemuan dengan politisi PDIP di Gedung Dewan Legislatif Jakarta (DPRD), Jakarta Pusat, Rabu, 27 November.

Biaya retribusi ditarik oleh unit manajemen teknis TIM (UPT). Sementara berdasarkan pengalamannya, ia tidak pernah diminta membayar untuk menggunakan taman teater selama era pemerintahan Ahok.


Ahok, lanjutnya, hanya mengumpulkan biaya untuk penggunaan bangunan di TIM, mirip dengan era pemerintahan di bawah Djarot Saiful Hidayat.

Radhar ingat bahwa ia bahkan pernah menerima uang untuk membuat pertunjukan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan sebuah yayasan seni.

Menurutnya, TIM UPT mulai meminta bayaran sejak pemerintah kota saat ini berkuasa. Namun, dia berhenti merinci tanggal yang tepat. "Aku lupa tahun, tapi itu sejak era Anies," katanya.

“Jangankan bangunan, kita bahkan harus membayar untuk menggunakan area luar gedung. Itu terlalu banyak. "

Beberapa seniman, termasuk Radhar, mengunjungi fraksi PDIP dewan kota untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana Anies Baswedan untuk membangun hotel sebagai bagian dari proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki . Mereka menilai keberadaan pondok dihadapkan pada fungsi awal taman sebagai pusat seni.

0 komentar:

Posting Komentar